Courtesy Photo: Artika Maharani |
Disamping itu, dalam hidupnya, orang Jawa segala yang terjadi, segala yang dialami, dan segala yang menyangkut dirinya, keluarganya, masyarakatnya serta bangsanya tidak terlepas dari garising Gusti (garis Tuhan/kepastian Tuhan). Segala yang menjadi garis, takdir atau kehendak Tuhan itu menyangkut segala persoalan yang menyangkut baik-buruk, menyenangkan-menyedihkan, susah-bahagia, yang datang dengan diharapkan atau yang tidak diharapkan, yang terjadi perlahan lahan atu tiba tiba atau bahkan mengejutkan dan sebagainya tanpa terkecuali
Selain itu, bagi orang Jawa kesadaran dan keyakinan bahwa garising urip iku dhewe-dhewe (takdir orang itu sendiri sendiri). Keadaan hidup yang berbeda beda antar orang itu sebagai sunatullah( hukum Allah SWT ). Manusia diciptakan dalam kondisi yang berbeda beda. Itulah sunatullah. Perbedaan tersebut justru menjadi bukti kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Ada yang sangat kaya, ada yang berkecukupan, ada yang miskin, dan bahkan ada yang sangat miskin. Ada yang menjadi pegawai, pejabat tinggi, pegawai rendahan, buruh dan bahkan ada yang bekerja menjadi pemulung. Dalam kehidupan berkeluarga, ada yang diberi anak walaupun tidak memintanya. Ada yang diberi anak banyak namun sedikit rezeki, ada yang tidak diberi anak rezeki melimpah, tetapi tidak sedikit juga keluarga yang ingin mendapatkan anak dengan jalan yang panjang dan berliku, atau memerlukan biaya yang besar. Itu semua adalah takdir yang ditetapkan oleh Tuhan kepada setiap individu.
Kesadaran akan takdir Tuhan yang membuat seseorang berbeda satu sama lain mendorong seseorang menjadi semakin kuat mrngakui kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Ada satu norma objektif di sisi Tuhan, yakni derajat kemanusiaan seseorang sebagai penentu predikat jati diri seseorang. Ukuran tinggi rendah derajat seseorang tidak terletak pada kondisi fisik seseorang (cantik-buruk, kaya-miskin, bawahan-atasan, menang-kalah, dan seterusnya), melainkan terletak pada tingkat kepasrahan dalam menerima takdir Tuhan (sebagai wujud dari derajat ketaqwaan sebagai seorang hamba)
Kita harus menyadari bahwa segala yang dialami seseorang telah sesuai dengan jatah, yang dalam bahasa Jawa disebut Pandum (pembagian) dari Tuhan. Jatah tiap orang itu berbeda beda. Oleh sebab itu, sikap yang sebaik-baiknya adalah narima ing pandum (menerima jatah secara ikhlas), tidak nggresula (menggerutu) dan berprasangka negatif kepada Sang Pandum (Tuhan). Tatkala kita sedang bahagia, seharusnya kita bersikap hati hati dan bersyukur pada-Nya. Sebaliknya ketika kita bersedih dan dihadapkan pada berbagai kesulitan hidup, sebaiknya kita tetap tabah seraya memohon kekuatan kepada-Nya. Sewaktu kita kehilangan sesuatu yang sangat kita cintai (anak, istri, suami, saudara, orang tua, jabatan, kekayaan dan sebagainya) hendaknya tetap dapat bersikap pasrah lan sumarah sebagai ungkapan sikap narima ing pandum. Semua harus diterima karena memang tidak ada daya dan kekuatan untuk menerima takdir Tuhan. Semua harus diterima dengan didasarkan pada keyakinan bahwa manungsa sadrema nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani) dan Gusti kang wenang nemtoake (Tuhan yang berwenang untuk memutuskan/menentukan). Selanjutnya, seseorang perlu berprasangka baik kepada-Nya dengan keyakinan segala persoalan yang tidak menyenangkan itu sebagai ujian atau cobaan dari-Nya. Jika kita terima dengan hati ikhlas dan tabah, tidak nggresula (menggerutu), kita akan dapat hati yang damai, tentram dan tetap dalam keseimbangan emosional sehingga tidak terjerumus dalam perilaku negatif (putus asa, iri hati terhadap nasib baik orang, yang justru akan melemahkan pengakuan kita terhadap Tuhan sebagai dzat yang Maha Adil dan Maha Memberi)
Falsafah Jawa juga memiliki wewarah atau nasehat , urip sing semadya (hidup sewajarnya), jangan pernah punya cita cita yang ngayawara (mengada ada).Hal itu merupakan nasihat agar berpikir cermat atau realistis dalam menentukan cita cita atau keinginan, sebagai contoh misalnya tidaklah realistis jika seorang yang berpenghasilan pas-pasan menginginkan memiliki mobil mewah, memang segala sesuatu bisa terjadi karena keajaiban Tuhan, namun alangkah arif dan bijaksananya jika keinginan dan cita cita itu diukur atau disesuaikan dengan kemampuan yang ada agar terhindar dari rasa meri. Cita cita atau keinginan terutama dalam mengejar drajat, pangkat dan semat (derajat, kedudukan, pangkat, jabatan dan kekayaan) juga aja nggege mangsa (jangan mendahului waktu) agar segala keinginan tersebut dapat dikendalikan agar tidak terperosok dalam perilaku negatif asal tujuan dan cita citanya tercapai dan mengambil jalan pintas yang berakibat tidak baik pada orang lain, tidak jujur, korupsi dan sebagainya
Berdasarkan wewarah (nasihat) tersebut diatas kita dididik untuk tidak memiliki sifat meri (iri hati), panasten (cepat sakit hati kepada orang lain), dahwen (suka mencela) orang lain karena perasaan iri hati. Berbahagialah jika orang lain berbahagia (karena dilimpahi rejeki, kemujuran, kesehatan, jabatan dan lainnya). Sebaliknya jangan terlalu sedih sewaktu diri kita dalam kondisi kurang atau tidak menyenangkan (sakit, kurang mampu secara ekonomi, kehilangan, dan sebagainya). Dengan sikap tidak meri, tidak panasten, tidak dahwen yang dilandasi oleh keyakinan bahwa hidup sudah dikendalikan oleh Sang Pandum (Tuhan), seseorang terhindar dari prasangka buruk terhadap orang lain, kita dapat menghargai orang lain, dapat turut berbahagia sewaktu orang lain bahagia sehingga kita tetap dapat menjalin keharmonisan religius dengan Sang Pencipta dengan baik sebagai wujud hubungan antara hamba-Sang Pencipta.
Yang paling penting, seseorang yang telah dapat narima ing pandum (menerima jatah) hidupnya dari Tuhan akan menjadi sosok yang ikhlas tidak pernah nggresula menjalani pahit manisnya hidup, entah pahit yang terjadi pada dirinya, anaknya, orang tua, tetangga atau bangsanya. Dengan mengakui bahwa urip iku ora ajeg (hidup tidak pernah ajeg) karena perputaran cakra manggilingan (siklus hidup, seperti berputarnya roda), sewaktu sedang menderita kita yakin bahwa Tuhan akan memberikan jalan keluar terbaik
Terakhir, sikap narima ing pandum (menerima secara ikhlas jatah hidup) tidak terlepas dari pandangan hidup Jawa bahwa urip iku mung mampir ngombe (hidup itu ibarat mamir minum), yang artinya hidup di dunia ini hanya sebentar. Orang Jawa yakin bahwa hidup yang lama atau bahkan kekal adalah kehidupan akhirat. Dengan demikian penderitaan hidup di dunia bukanlah sesuatu yang harus digetuni (disesali), melainkan harus dihadapi dengan penuh ketabahan, kepasrahan dan keyakinan bahwa semua sudah diatur oleh-Nya.
0 comments:
Post a Comment