Kisah Rama Tanpa Hanoman! ~ Tips For Designers, Bloggers, Tech Users

Thanks For Visiting Us

Sunday, June 5, 2011

Kisah Rama Tanpa Hanoman!


(KISAH RAMA TANPA HANOMAN)

Windu T.


Apa yang akan terjadi, jika dalam kisah roman klasik Rama-Shinta, sang Hanoman tiba-tiba absen dan tidak bersedia memainkan perannya? Dalam kisah itu Hanoman pergi ke markas sang raksasa, meloncat-loncat dan menimbulkan kebakaran hebat, sebelum akhirnya membawa kabur kembali Shinta.. yang bukan istrinya maupun iparnya.. apalagi adik kandungnya!



Kebakaran yang ditimbulkan Hanoman di kerajaan Alengka, milik sang Raksasa usil, Kira-kira sehebat kebakaran di jembatan lima jakarta barat tahun lalu dihari lebaran kedua, yang membumihanguskan 2075 kamar kontrakan. Data mengenai jumlah kamar itu valid karena didapat tim liputan setiap televisi yang mewawancarai ketua RW setempat.



Kembali ke kisah semula, ternyata Hanoman emoh! Entah apa alasannya belum jelas. Sudah pasti Rama harus berjuang lebih keras mencari Sang belahan jiwa yang diculik raksasa tak bertanggung jawab. Karena berjuang sendiri, Rama butuh waktu lebih lama. Rama mungkin baru tahu beberapa bulan kemudian, bahwa Shinta ternyata disimpan di hutan belantara, di bagian timur laut kerajaan Alengka.



Mungkin juga, waktu Rama akhirnya menemukan sang istri pada suatu siang yang panas, Shinta kadung dihamili sang raksasa, dan dengan lahapnya sedang makan rujak di bawah pohon sawo dengan perut membuncit. Mungkin.



Atau Rama mungkin harus mencari peramal untuk menemukan dimanakah kiranya sang wanita yang konon kecantikannya seperti bulan berwarna perak. Rama mungkin jadi lebih sibuk mendengarkan wejangan mbah dukun kerempeng berjenggot putih dan selalu mengunyah tembakau, sebelum memutuskan pergi mencari Shinta tepat pada malam jumat kliwon, purnama kedua di musim penghujan, seperti laiknya dilakukan para politisi modern, yang ingin memetakan mana musuh dan mana kawan.



Atau Shinta yang ternyata mulai tertarik pada penculiknya yang.. meskipun tidak ganteng, tapi masuk kategori manis, malah sibuk ikut membantu sang penculik menyembunyikan dirinya, agar tidak segera ketahuan, sambil berusaha tampil seksi setiap saat? Ingat! Tidak semua raksasa itu jelek lho!! Apalagi selera perempuan terhadap kegantengan, sangat relatif. Tidak ada parameter yang jelas, kecuali masalah kekayaannya.



Jangankan penonton.. dalang pun rasa-rasanya kebingungan mencari cara menyelesaikan kasus penculikan disertai pemerasan yang saat itu belum masuk dalam KUHP. Rama tidak bisa frontal menghadapi sang Raksasa yang.. Nauzubillah gedenya.. karena cerita akan cepat selesai. Disisi lain, Rama agak-agak geli dengan bulu-bulu dada sang raksasa yang konon bisa bikin cewek-cewek melotot. Lagian apa hebatnya meniru Rambo, kisah heroik dari Amerika yang justru jauh lebih baru dibanding epic Rama-Shinta?



Bagaimanapun Rama butuh perantara, tokoh penengah yang seharusnya dimainkan Hanoman. Tidak saja supaya cerita jadi lebih panjang, tapi juga dimaksudkan untuk menjaga keanggunan Rama sebagai raja ganteng, elegan, dan memiliki segalanya.



Raja yang berangkat sendirian ke Medan laga hanya berarti dua hal: dia bikin kesalahan konyol hingga bala tentaranya ogah nemenin karena malu, atau saking marahnya sang raja lalu ngacir berangkat sendiri lupa bawa pasukan. Tapi dalam kasus ini kedua hal tersebut tidak cocok.



Rama harus pergi sendiri karena ini urusan perempuan. Apa jadinya kalau yang berangkat satu pasukan penuh? Kerajaan tetangga bisa-bisa curiga, jangan-jangan Shinta emang sudah dipakai rame-rame! Buktinya waktu dia diculik, kenapa yang marah banyak? Biasanya prasangka selalu jahat.. bahkan mengabaikan fakta bahwa yang diculik raksasa adalah istri raja, jadi wajar kalau rakyatnya marah.



Sebenarnya dalang bisa saja meminjam tokoh Erlangga, sang penengah masalah dalam kisah Calon Arang. Erlangga putera raja Bali yang memerintah di jawa timur karena sejak kecil diasuh kakeknya yang nota bene raja di tanah Jawa itu. Atau meminjam empu Bharada, yang menjadi penengah perselisihan antara Erlangga, ayahnya Raja Udayana, dan adiknya Marakata soal siapa yang akan memerintah Bali, pasca pengunduran diri Udayana, raja bali yang kesepuluh, keturunan Sri Keswari warmadewa yang muncul pada abad ke sepuluh juga.



Empu Bharada cukup arif. Saat Raja Udayana meminta Erlangga si sulung agar tahu diri, karena wilayahnya sudah dikapling di jawa timur sesuai dengan jatah dari sang kakek, Alih-alih ikut maksa minta bagian tanah Bali, Mpu Bharada malah setuju agar Erlangga membiarkan sang adik Marakata menjadi penerus bapaknya. Sepertinya Empu Bharada terlalu tua, jadi males berantem.



Prestasi besar mpu Bharada sebagai penengah perseteruan tercatat dalam kitab karya Empu Sedah dan Panuluh berjudul Negara Kertagama. diceritakan Sang Bharada terbang di atas kerajaan Majapahit yang saat itu diperintah oleh ratu Suhita. Sebagai sesepuh kerajaan, Mpu yang selalu menggelung rambut kelabunya tepat di puncak kepala ini diminta menengahi perseteruan saudara satu darah biru. Maka mpu Bharada membagi dua kerajaan Majapahit menjadi Jenggala atau kadiri dan Panjalu, dengan kucuran air dari dalam kendi yang dibawanya. Perbuatannya ini menandai berakhirnya masa Jaya kerajaan yang sangat besar di era pemerintahan hayam Wuruk dengan maha patihnya Gajah Mada. Bagi yang tertarik, informasi lebih detil bisa didapat dalam buku ‘sandyakalaning Majapahit’.



Pembelahan wilayah kerajaan Majapahit dilakukan Mpu Bharada karena anak-anak sang Ratu  sedang rebutan kekuasaan. Bukan rebutan perempuan. Ini urusannya murni politik. Juga tidak dijelaskan oleh sang penulis sejarah, bagaimana cara sang Empu bisa terbang melayang-layang sambil bawa-bawa kendi yang mengucurkan air. Mungkin karena predikat ‘sakti’ yang disandangnya dari universitas khayangan.



Satu hal yang menggembirakan, mungkin Mpu ini juga sempat belajar foto udara, ilmu pemotretan jarak jauh yang dijaman belakangan dilakukan oleh NASA, untuk kepentingan spionase, penelitian geologi dan arkeologi. Sebab, bagaimana menjelaskan bahwa si empu ini bisa melihat peta batas wilayah kerajaan dan membagi dua sama besar dari atas sambil melayang-layang? Jangan-jangan kerajaan tetangga sebelah juga ikut dicaplok dan malah runyam. Namun melihat kasusnya, Empu Bharada kurang cocok untuk jadi utusan Rama, karena kasus yang melibatkan perempuan juga harus melibatkan laki-laki berselera bagus. Setidaknya bukan kakek-kakek.



Alternatif lainnya mengundang secara khusus Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit yang kesohor. Beliau adalah  menantu Raja Kertanegara Jaya wishnuwardhana dari kerajaan Singosari, sebagai tamu istimewa untuk memecahkan masalah. Raden Wijaya bisa jadi penengah yang tepat karena pengalamannya memperistri keenam puteri raja Kertanegara sekaligus, dengan alasan Singosari sedang menuju keruntuhan, akibat pemberontakan Jayakatwang yang di Backingi pasukan Kubhilai Khan.



Tapi semua tokoh penengah sedang sibuk dengan peran-masing-masing. Apalagi Raden Wijaya. Beliau harus mengatur strategi tempur, mempertahankan kotaraja, membangun kroni dengan kerajaan sebelah untuk memperkuat basis politiknya, belanja mesiu pada saudagar Cina yang juga jadi pemasok untuk pasukan Jayakatwang,  (yang ini mirip-mirip manuver ‘PT. PINDAD…’ yaa jual senjata dan peluru ke Tentara.. yaaaa jual ke Milisi… (Bussines is my bussines. War is your bussines, my friends!!!). Masih ditambah lagi beban membuat jadwal yang adil untuk menjamin kebersamaan yang sukses dengan keenam istrinya adik beradik. Kasihan si bungsu…pasti Cuma kebagian mijitin. kalau saja Raden Wijaya cerdas, beliau bisa minta bantuan koordinator liputan kantor redaksi news setiap stasiun televisi. Mereka sudah teruji dalam menyusun jadwal mingguan reporternya. Tiga shift dalam sehari semalam, secara adil sekaligus jahat.



Tokoh penengah yang nganggur sebenarnya Jimmy Carter. Mantan presiden Amerika ini terkenal sebagai Sang Negosiator ulung. Mr. Carter tercatat beberapa kali berhasil mendamaikan perseteruan maha heboh sekelas permusuhan Palestina dan Israel.Tapi sejak kapan epic timur bisa dibaurkan dengan paham barat? Sekarang aja perang, apalagi dulu! Bukannya perang selalu diawali dengan sejarah?



Nah! Apapun yang terjadi, Rama harus berbuat sesuatu. Jika Hanoman tiba-tiba absen, itu urusan bagian personalia (dalam hal ini urusan dalang). Rama akhirnya memutuskan mencari sendiri sang istri, atau mencari gantinya secepat mungkin. Saat berangkat menuju negeri Alengka dengan bekal lima butir telur rebus dan sebotol penuh kopi pahit (ini belajar dari penumpang bis ekonomi antar propinsi), Rama berangkat berperang. Ini demi harga diri dan kelelakian yang dilecehkan mentah-mentah. Tak ada bis Patas. Tak ada juga yang estafet. Mengikuti jamannya, Rama pun berjalan kaki. Seharusnya bisa saja dia menunggang kuda. Tapi tidak kelihatan heroik! Jadi alternatif ini ditinggalkan.



Menurut mbah dukun yang dikunjunginya sebelum berangkat, Sang Rama harus menghentakkan kakinya dengan keras tiga kali ke atas tanah, meludah tiga kali, sambil baca mantra tiga huruf sebanyak tiga kali juga yang artinya gak jelas.. Cuma ditelinga terdengar “asu! Asu! Asu! Begitu. Rama pun melakukannya persis sesuai perintah. Untung gak ada orang yang melihat adegan itu, karena Sang Rama pasti harus berjuang keras untuk pura-pura cuek. Apapun artinya mantra itu, Beliau tidak perduli. Sekarang bukan saatnya bertanya, tapi berusaha.



Lalu pergilah sang raja yang kehilangan istri, ke utara. Menuju ke negeri Alengka. Negeri para raksasa. Sambil melangkahkan kaki Rama sempat berpikir, apa alasan Hanoman absen. Sakit? Aksi mogok? Ngambek? Atau ngetest keberanian suhunannya? Rama tak dapat memilih salah satunya. Mungkin Hanoman sedang “M”!!! Males…



Ditengah jalan Rama bertemu dengan dengan seekor anjing. Dalam benaknya Rama berkata.. Lhaa..!ini kan asu? Sejenak Raja muda itu merasa tolol, teringat mantra yang diucapkannya. Namun dia teringat Epik Mahabharata. Disitu dijelaskan, dari kelima ksatria pandawa, hanya Arjuna bersama anjingnya yang berhasil masuk ke swargaloka setelah mengalahkan para kurawa, dalam pertempuran yang sangat haus darah di medan kuruksetra. Begitu sadisnya pertempuran yang menebar maut ini sehingga kata ‘setra’ seolah memiliki daya magis dan diadopsi oleh orang jawa kuna untuk menyebut kuburan. Kata ini masih lazim digunakan di Bali hingga sekarang.



satu-satunya binatang yang mengikuti Sang Parikesit, ksatria dari bani pandawa yang konon sangat tampan ini adalah seekor anjing. Bukan karena hewan ini mengalami perlakuan diskriminatif, karena diharamkan oleh salah satu agama manusia sehingga para dewa jatuh kasihan, tapi karena anjing itu sangat setia. Rupanya para dewa lebih menghargai anjing yang setia, daripada manusia tapi tukang selingkuh. Kali..! buktinya si anjing boleh masuk surga, sementara Yudhistira, Kresna, dan ksatria kembar Nakula Sadewa malah mati.(tidak dijelaskan apakah keempat ksatria pandawa ini tukang selingkuh sehingga tidak bisa masuk swargaloka, mengingat Arjuna pun pacarnya banyak).



Terpikir oleh Sang Rama untuk mengajak anjing itu pergi bersamanya. Biar kisahnya agak-agak mirip dengan Arjuna. Tapi Rama kemudian mengurungkan niatnya. Tidak saja ending perjalanan ini adalah ke negeri para raksasa, bukan ke swarga loka, tapi  ada alasan lain, Rama takut sama anjing. Lagi pula yang di butuhkan saat ini adalah penengah sekelas ‘Hanoman sialan’ yang kabur pada detik detik eksekusi.



Akhirnya Sang Rama terus melangkah. Anjing pun terus berlalu. Mereka tidak saling sapa, tapi dari mata si anjing terkesan tanda tanya besar. Manusia yang baru dilihatnya itu seperti sosok yang tidak asing. Siapa ya? Sang anjing belum kenal kata selebritis, atau tokoh politik. Dia juga gak mau repot mikir. Lagi pula dia tidak bisa bicara. Apalagi bahasa manusia, meskipun dia ngerti artinya. Ini disebut bisa bahasa manusia pasif, kira-kira  sama artinya dengan ‘bisa berbahasa Inggris pasif’.



Sementara sambil jalan Sang Rama memikirkan mantra ‘asu’ dari mbah dukun. Bagus juga. Rama melogika, mungkin kepergiannya ini di dorong oleh rasa setia. Atau mungkin mantra itu berfungsi untuk mengingatkan Shinta dinegeri antah berantah, agar tetap setia. Atau, setialah pada misi hidupmu. Demikian kira-kira Rama melogika mantra tiga huruf itu.

***

Hari pertama di lalui Sang Rama dengan perjalanan panjang dan jarang berpapasan dengan manusia. Rama merasa lega. Harga dirinya saat ini sudah tercabik-cabik. Pandangan penuh tanya dari para pejalan kaki yang kebetulan lewat, hanya akan membuat harga dirinya jatuh sampai ke dasar jurang. Bagaimanapun dia adalah raja yang berangkat menemui musuh sendirian. Jalan kaki pula. Urusan perempuan pula.



Sepanjang jalan, setiap langkah kakinya, wajah sang istri terus membayang di pelupuk mata. Ekspresi Shinta saat tersipu malu, tatapan mata lembut dan senyum manisnya, bola matanya berpendar cantik, diteduhi bulu mata lentik. Lalu bayangan berganti dengan adegan Sang Dewi, meronta dalam pelukan kasar raksasa, saat peristiwa penculikan berlangsung. Istrinya yang berkulit halus, putih mulus dan sintal, di peluk raksasa berbulu dada tebal!! Istrinya!! Istrinya!!



Sialan! Sang Rama sendiri gak punya bulu dada!! Meski berbotol-botol minyak Firdaus sudah habis (ada di iklan pos kota), dan tak terhitung doa-doa telah dia lontarkan kepada dewi kesuburan, supaya tidak hanya menyuburkan negerinya, tapi juga menyuburkan bulu-bulu tubuhnya, demi “perasaan Jantan” yang sangat didambakan setiap pria, apalagi seorang raja seperti dirinya. Biarpun Cuma “perasaan” tapi  untuk mewujudkannya aja susah!



Jantung Sang Rama berdenyut sakit. Perasaan marah dan geram membuat Rama meleng. Sang Raja tiba-tiba berteriak kesakitan. Kakinya terantuk segumpal batu yang teronggok di tengah jalan. Ini jelas bukan polisi tidur.



Sumpah serapah ala raja pun segera berhamburan dari mulutnya. Sambil meloncat-loncat memegangi jempol kakinya, Sang Rama memaki, “diancuk njaran! Semprul! Sondobelo! Uassu edan!! Kere picek!! (sumpah serapah ini masih langgeng di terminal bis muntilan). Hatinya yang sedang kesal, bertambah kesal karena jempolnya jadi biru lebam. Batu sandungan Itu ternyata bukan batu. melainkan kura-kura yang sedang menyeberang jalan dengan kecepatan satu sentimeter permenit.



Si kura-kura pun tak kalah marah. Sambil menjulurkan lehernya yang panjang dan keriput, sikura-kura berteriak, “He!! Mata lu yang picek!” (ini akulturasi dialek jakarta dengan kosa kata Jawa. Lu dan picek). Si kura-kura bisa berbahasa manusia aktif dan pasif. Artinya mengerti dan bisa meniru bahasa yang digunakan manusia.



Namun niatnya untuk marah lebih besar lagi jadi urung, ketika matanya menangkap ekspresi sedih dari wajah laki-laki yang menendang batok punggungnya. si kura-kura merasa wajah laki-laki tersebut tidak asing. Dia telah mengenal kata selebritis, meskipun kata tokoh  politik masih asing. Akhirnya Si kura kura berkata: “alon-alon aja mas!! Yang penting kelakon!!”



Aku gak bisa alon-alon! Emangnya aku kura-kura!! Misiku ini harus dikerjakan secepat mungkin. Makin cepat makin baik. Kalau tidak, istriku mungkin sudah dikerjain sama para raksasa sialan itu! Jangan-jangan malah sudah dikerjain sekarang! Jawaban Sang Rama meluncur seperti rentetan peluru karaben yang menyalak dari tangan seorang serdadu.



Meskipun tersinggung dengan kata “emangnya aku kura-kura”, binatang yang dari sananya sudah ditakdirkan ‘lelet’ itu memutuskan tidak bereaksi. Otaknya sibuk memikirkan sejumlah kemungkinan. Istri si pemarah berwajah familiar itu pastilah minggat dengan laki-laki lain. Alasannya mungkin tidak puas hanya sekedar jadi kanca wingking, atau si PIL lebih ganteng, atau itunya jauh lebih  “GEDE”, mengingat PILnya itu berupa raksasa. Atau sebenarnya tak ada yang salah dengan si laki-laki ini, namun si istri tak bisa menaklukkan jiwa petualangnya sendiri. Mungkin begitu.. pikir si kura-kura.



Setelah duduk di pinggir jalan sambil memijit-mijit jempol kakinya sebentar, sang Rama segera bangkit, bermaksud meneruskan perjalanan. Seluruh ekspresi yang menggambarkan kemarahan, kegundahan, kepanikan, kesedihan, dendam kesumat, muncul bersamaan diwajahnya yang halus. Wajah bangsawan yang kemana-mana selalu dipayungi ajudannya. Namun si Kura kura berujar: Laki-laki cerdas berangkat perang berbekal senjata. Laki-laki bodoh berangkat perang berbekal kemarahan. Yang manakah dirimu, wahai ksatria berwajah sendu? (hiks!!)



Sang Rama tersentak. Sadar dan mulai merasa malu. Alih alih bawa senjata, dia malah membawa lima butir telur rebus dan sebotol kopi pahit! Itu kan nasehat transmigran dari sumatera yang biasa naik bis ke tanah jawa!! Mana kerisku? Mana tombakku? Mana busur dan anak panahku?

***



Cerita berlanjut. Sang Rama dan sikura-kura berdamai. Mereka duduk di bawah pohon Mahoni besar di pinggir jalan. Dengan berurai air mata Sang Rama menceritakan bagaimana acara berburu kijang emas yang semula sangat membahagiakan itu berakhir dengan tragedi penculikan istrinya. Sang Rama mengabaikan kelelakiannya. Saat ini air mata sah-sah saja diumbar.



Sejenak beliau merasa sedikit beruntung, karena tidak memiliki bulu dada. Bayangkan bila ada laki-laki berbulu dada tebal, menangis sesenggukan disamping seekor kura-kura di bawah pohon? Dipinggir jalan pula!! Toh dia sedang curhat. Pencurahan yang sehat, tidak jahat, dan bermanfaat. Selanjutnya bisa ditebak, nada sedih dan marahpun  silih berganti. Meluncur diantara derai airmata sang Ksatria yang sedang berduka.



Setelah Sang Raja muda kehabisan kata-kata dan diam membisu, si kura-kura lalu bercerita kenapa dia sampai ditengah jalan sunyi itu. Empat hari sebelumnya ia ada di pinggir sebuah kolam yang jernih, teduh oleh tumbuhan yang rindang, dan ramai oleh ikan-ikan kecil. Si kura-kura lahir dan besar ditempat itu. Sahabatnya banyak. Semua mahluk yang ada di tempat itu dikenalnya dengan baik.



Namun hatinya akhir-akhir ini terganggu oleh celoteh para burung bangau yang singgah dikolam tempat dia tinggal. Mereka selalu riuh rendah menceritakan sebuah negeri di batas langit, yang penuh dengan cahaya terang. Penuh dengan buah-buahan dan bunga-bunga berbau harum, ada kolam seperti kolam yang dihuninya, namun lebih subur dan lebih ramai.



Dimalam-malam yang berbalut cahaya bulan, katak bernyanyi sahut menyahut, dan alunan musik yang menyelinap keluar dari dinding istana raja, memenuhi udara malam dengan aroma cinta. Membuat hati setiap mahluk single tiba-tiba merasa kesepian dan merindukan sandaran rasa.  Sejumlah bangau muda bahkan menemukan kekasih disana. Atau yang sudah punya pasangan pun mengaku single, dan menemukan teman kencan semalam. Benar-benar sebuah negeri impian setiap mahluk yang mencintai kehidupan, dan mencintai cinta itu sendiri. Cerita yang selalu sama. Berminggu-minggu.



Tak tahan dan dipenuhi rasa ingin tahu, si kura-kura mengutarakan keinginannya, mengunjungi negeri bercahaya terang itu. Sudah lama hatinya diam-diam ingin merasakan apa artinya cinta. Apalagi cinta yang diiringi musik malam. Semua tertawa. Si lelet mau jalan-jalan jauh? Ada yang nyeletuk, di butuhkan waktu seratus tahun bagi dia untuk sampai tujuan. Ada yang usul batok punggungnya dimodifikasi jadi sayap.



Tapi ada seekor bangau jantan yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. Bangau jantan yang sudah masuk kategori bujang tua ini, bersedia membawa si kura-kura terbang bersamanya. Caranya sikura-kura menggigit sebatang ranting, lalu ranting itu akan dicengkeram oleh kedua kaki bangau, dan begitulah perjalanan akan dilakukan. Namun si kura-kura tidak tahu, si bangau jantan ini pengomel berat, cerewet! Moodnya mudah berubah, tukang sindir, pokoknya mulutnya super judes!



Meski telah berpuluh-puluh kali singgah di negeri yang penuh cahaya itu, si bangau jantan tidak kunjung memiliki kekasih. Padahal semua temannya bilang aroma cinta di negeri penuh cahaya begitu kuat dan lekat. dan semua pejantan lain, bahkan yang jauh lebih muda sudah gonta-ganti pasangan, malah ada yang putus nyambung dengan betina yang sama sampai empat kali. Apa masalah si jantan ini? Teman-temannya berusaha memaklumi namun tidak ada yang bisa memahami. Tidak ada yang salah dengan si Jantan paruh baya ini. Pada dasarnya dia bangau jantan yang baik. Dia hanya kesepian. Rindu pada diri sendiri. (hmmmm… boleh juga).



Singkat cerita terbanglah si bangau jantan dengan kura-kura yang menggigit erat sebatang ranting, diiringi pandangan kagum dan sorak-sorai penghuni kolam. Ada yang titip oleh-oleh cowok ganteng, bahkan ada yang titip dibawain foto artis korea, tanpa tahu bahwa korea bukanlah sebuah kolam di negeri penuh cahaya.



Di tengah jalan, kira-kira setelah setengah jam perjalanan, bangau jantan mulai merasa lelah dan bosan. Kura-kura itu mulai terasa berat membebani kakinya. Membuat perjalanan yang selama ini selalu menyenangkan berubah jadi siksaan. Ini benar-benar diluar rutinitasnya sebagai “lonesome ranger”. Entah kenapa mendadak ada rasa tidak aman, rasa terancam kebebasannya dan merasa tertimpa tanggung jawab terlalu banyak. Suatu perasaan yang biasa muncul dalam hati para soliter.



Di sisi lain hatinya mulai ragu. Takut kelelahan di tengah jalan dan tidak sanggup lagi terbang meneruskan sisa perjalanan. Dia takut si kura-kura mengeluh, meragukan kemampuannya. Atau lebih buruk lagi, mentertawakan staminanya. Si bujang tua tidak pernah berani menerima kritik. Membayangkannya pun sudah membuat hatinya ciut, tidak berdaya dan rapuh. Hidupnya selama ini tidak pernah dipersiapkan untuk di jalani berdua. Dibalik ketenangannya dan rasa percaya diri yang memancarkan kharisma, si bangau  matang usia ini sesungguhnya menyembunyikan hati yang sangat rapuh, serapuh gelembung cairan sabun yang bila disentuh sedikit langsung pecah, menghilang tanpa bekas. Tapi siapa yang bisa tahu, jika sang pemilik hati pun menyembunyikannya rapat-rapat?



Alih-alih menjelaskan situasi yang sebenarnya, si bangau jantan malah mengeluarkan jurus bunuh diri. Artinya sikap yang membuat dirinya justru menuai masalah. Sebuah aksi melindungi diri yang terlalu dini, karena belum-belum sudah merasa dihakimi oleh si kura-kura, yang sumpah mati tidak tahu apa-apa.



sang perjaka tua pun nyeletuk: uh! udah jelek! Berat pula! Untung aku bukan kura-kura! Para dewa dulu pasti lagi iseng, menciptakan mahluk berleher molor-molor! Iya, nggak? Eh! Iya, nggak??  Kamu laki apa perempuan sih? Cantik, enggak.. ganteng juga enggak.. lagian jadi mahluk hidup kok yha punya gigi Cuma dua. Di depan lagi! Kayak manusia-manusia yang berwajah agraris! (pinjam istilah Marboen). Kamu tahu maksudku? Itu lho! Manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Yang hidupnya Cuma mikirin hari ini bisa makan gak! Mereka punya kesamaan dengan kamu. Sama-sama lelet!



Sikura-kura diam. Meski tersinggung sekali, tapi dia tidak bisa menjawab! Mulutnya harus tetap menggigit ranting itu. Sementara mereka sedang melayang-layang di ketinggian dua ribu kaki. Dibawah sana pemandangan alam terbentang luas. Sungai berliku dan sawah hijau membentang (seperti penggalan lagu anak-anak). Padahal dilehernya yang dibilang molor-molor itu  sudah terkumpul sejumlah kalimat: dasar bangau jelek! Lihat muncungmu yang kaya ranting patah! Kakimu yang kecil kaya lidi! Pejantan kok kakinya kaya peragawati! Bencong lu ya?!



Tapi si bangau terus berlanjut dengan kecomelan mulutnya. Atau tepatnya berlomba dengan kecemasan hatinya sendiri. Ngomong-ngomong, punya leher molor-molor gitu, risih gak lu? Kadang ‘mingslep’ .. kadang nlolorrr..’ yhaaik!! Kaya apa yaa? Kaya apa haiyooo…??? Berhasil!!  Kali ini si kura-kura benar-benar naik pitam. Sambil menghembuskan napas panjang, dia membuka mulut dan berteriak sekuat tenaga: dasar monyeeeeeeeeeeeeeet!!..



kata monyet itu jadi sangat panjang dan terdengar semakin menjauh.  Bersamaan dengan terbukannya mulut, si kura-kura terlepas dan melayang-layang di udara menuju bumi, tanpa payung terjun. Sementara si bangau kaget dan memandang ke bawah dengan pandangan terheran-heran. Lalu dia nyeletuk. Wong disuruh pegangan aja kok yha dilepas. Pasti itu kura-kura perempuan. Gak bisa ngerem mulutnya. Atau dia marah ya? Walah.. gitu aja kok marah. Kalau dia pergi dengan cara seperti itu, kan aku jadi  gak bisa minta maaf. Salah sendiri! Si bangau meneruskan perjalanannya, tanpa kura-kura dan tanpa rasa bersalah. Bahkan merasa lega, karena tidak harus minta maaf. Inilah enaknya tidak punya rasa tanggung jawab. Bisa merasa seolah-olah menang dari pertandingan yang memang tidak ada.



Sambil mengakhiri ceritanya si kura-kura berujar kepada Sang Rama: aku tidak menyesal jatuh di sini. Ditempat antah berantah. Jauh dari kolam rumahku, maupun dari negeri penuh cahaya impianku. Mungkin ini sudah takdirku. Yang kusesali hanya satu: kenapa aku memaki dia monyet! Bahkan dia bukan monyet!! Aku seharusnya bilang  dasar bangau mandul, tua bangka impoten! atau dasar bangau homo! Bahkan kura-kura pun gak akan ada yang sudi jadi pacarnya! Itu kan lebih pas! Sebab kalau dia bukan homo dan gak impoten, tua bangka sialan itu pasti sakit hati berat dituduh begitu!



Si kura-kura menceritakan kisah ini kepada sang Rama yang duduk disebelahnya dengan mulut mlongo. Kura-kura itu tahu, pengalamannya ini mengirim pesan yang sangat kuat tentang pentingnya menahan marah.



Yang dia tidak tahu, kisah hidupnya ini tertoreh pada dinding batu pemandian komplek candi Jalatunda, di lereng gunung lawu Jawa Timur, dalam bentuk keping-kepingan relief. Kepingan-kepingan batu paras yang sering direnungi para mahasiswa arkeologi sampai sekarang. Nama si kura-kura bahkan tetap dikenali di abad dua satu ini, meskipun tidak tertoreh di ‘wall of fame’ nya pedestrian sebuah jalan di Hollywood. Dialah Sang Sarpakenaka.



MARAH SAMA SIAPA?

Kamu marah sama siapa? Apakah masalahmu akan selesai dengan marah-marah? Pertanyaan si kura-kura membubarkan ekspresi terpesona yang muncul di wajah sang Rama. Beliau lalu memandang ke batas langit di depannya, dan terdiam. Jelas sang Raja marah kepada penculik istrinya. Sang Rahwana, raja raksasa dari negeri Alengka.



Itukan perbuatan salah. Mengambil dengan paksa, menginginkan yang bukan miliknya, menyerobot tanpa ijin, tidak punya sopan santun, tidak menghargai wilayah pribadi orang lain. Beliau juga marah kepada Hanuman. Ajudan tak tahu diri karena menolak tugas secara mendadak dan semena-mena. Tidak ingat budi baik junjungan. Tidak patuh pada atasan. Tidak setia. Tidak punya rasa terima kasih atas pangkat yang telah diterimanya. Pangkat istimewa yang hanya diberikan bila raja berkenan. Sekali lagi, hanya bila raja benar-benar berkenan.



Tapi apa balas budinya? Apa pengorbanannya untuk sang junjungan yang telah begitu baik mengangkat dia menjadi pejabat negara yang bermartabat? Gengsinya terangkat sampai puncak bukit karena kedekatan hubungannya dengan sang raja. Ini kan tidak bisa dihargai dengan uang.



Sang Rama juga marah pada protokoler istana yang menyetujui jadwal berburu kijang emas. Kalau saja jadwal itu diganti dengan sidang terbatas para menteri, atau audiensi dengan para duta besar negara timur tengah, atau temu kangen dengan mantan perdana-perdana menteri yang telah pensiun, tentu keadaan tidak akan serunyam ini.



Sang Rama juga, entah bagaimana, memiliki rasa marah kepada istrinya. Gara-gara dia cantik dan montok, dia diculik. Coba kalau dia wajahnya biasa aja. Dengan hidung pesek dan lobangnya besar. Matanya bulat dan pipi tembem. Atau pantatnya peyot dan perutnya besar, dengan buah dada seperti telor ceplok. Tak akan ada raksasa sejelek apapun yang mau menculiknya.



Lebih dari itu, kenapa Shinta tidak mencoba melarikan diri (bagaimana sang Rama bisa tahu? .. namanya juga ‘ill feel’), kenapa  Shinta tidak menendang, mencakar, meronta, menjerit, me.. apa saja yang penting terlihat melawan dengan keras (juga bagaimana sang Rama tahu apa saja usaha yang telah dilakukan istrinya?) ada pepatah “orang tak berdaya suka menyalahkan orang lain, agar kelemahannya sendiri tidak terasa menyakitkan.



Lalu yang paling terakhir, dan dengan segala berat hati diakui, itu pun dengan syarat setelah diakui segera harus disembunyikan, dirahasiakan dari siapa saja, dan segera dilupakan... sang Rama menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya dirinya bukan seorang raja, seandainya dia bukan penggemar keindahan sehingga memilih istri yang cantik, seandainya dia panglima perang yang tidak takut bertempur dan haus darah, seandainya dia tuinggi buesaarr seperti raksasa penculik, seandainya beliau tidak hobi berburu.. seandainya.. oh seandainya...



“Aku marah besar”. Jawaban singkat padat dan jelas ini terdengar seperti genderang perang di telinga si kura-kura. Nada penuh kemarahan itu bahkan menelusup ke setiap urat halus yang terbayang samar di kedua pipi sang Raja. Menimbulkan warna merah dan membuat wajah halusnya tampak kelam. Dia mengambil harga diriku. Dia ambil lambang kelelakianku. Seperti merogoh nyawa dari jantungku, mengosongkan jiwaku.



“Kau tampak sangat marah”.

Jawaban konyol dari si kura-kura membuat sang Rama bertambah geram. Apa kau buta?! sergahnya galak (wuih..!!!).



Hei kawan! Marah terus tak akan membuatmu kelihatan hebat. Juga tak akan melemahkan musuhmu. Yang ada malah melemahkan jantungmu. Kau mau mati jadi pahlawan pembela istri, atau mati jadi raja yang kena stroke? Begini saja. Aku mau tahu, apa yang akan kau lakukan?



Aku akan membuat raksasa sialan itu mati pelan-pelan. Sangat pelan. Aku akan memakan hatinya. Aku akan mencungkil biji matanya. Akan ku kelupas kulit ari dan bulu-bulunya, supaya dia telanjang bulat dalam arti yang sebenar-benarnya. Sambil bicara sang Rama mengepalkan kedua tangannya, kemudian meninju tanah. Tatapan matanya dingin, Sangat jauh dan tajam. seakan mampu merobek cakrawala. (hati-hati. Kemarahan yang sedemikian hebat tidak hanya dapat membunuh musuh, tapi juga dapat membunuh sang pemilik rasa marah itu sendiri).



Ihh!! Si kura-kura bergidik ngeri. Gila, raja ganteng ini ternyata punya bakat jadi pembunuh berdarah darah! Jangan-jangan nanti kalau dia naik pitam, leherku dipotong! Tapi sang Sarpakenaka membuang jauh-jauh prasangka buruk itu. Kasihan kalau prasangka dianggap nyata. Itu namanya percaya pada bayang-bayang sendiri. Apa bedanya dengan gila?? Hehehe.. (tertawa kali ini gak ada hubungannya sama sekali).



Istrimu pasti sudah digerayangi oleh.. siapa tadi? Selingkuhannya? Atau setidaknya di sun pipinya. Cipika cipiki. Cium pipi kanan, cium pipi kiri.. sang kura-kura menerawang, membayangkan kemungkinan paling kurang ajar yang bisa dialami istri kawan barunya. Namanya juga laki-laki. Lanjutnya makin asik. Mustahil kalau menculik Cuma buat tontonan sambil makan kacang rebus.  Atau di suruh mandi trus diam-diam di intip. Gak mungkin kaaaaan? Lanjut sang kura-kura semakin bergairah dengan analisa sepihaknya. Pasti dia sudah ditelanjangi, diliatin.. diraba-raba...



Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammm!!! Sang Rama benar-benar naik pitam. Darahnya menyembur ke seluruh jaringan tubuh, dan tertahan di kepala. Matanya melotot liar bersemburat lidah api. Gemetar seluruh tubuh hingga ujung-ujung rambutnya. Mulutnya komat kamit tak terkendali. Umpama granat, ledakkannya benar-benar memekakkan telinga.



Sekejap kemudian kemarahan itu digantikan dengan raungan tangis sang Raja. Ketidakberdayaan membuat kelelakiannya benar-benar terluka. Seluruh kepribadian dewasanya luruh dan muncullah bocah lelaki kecil dari balik tubuh gagahnya. Bocah lanang yang menangisi kekecewaannya sendiri. Suara tangisnya besar dan sumbang. Mengalun bergelombang kadang tinggi, kadang merendah. Kedua kakinya dihentak-hentakkan ke tanah bergantian. Seperti gaya jalan di tempat, hanya kali ini dilakukan dengan penuh napsu. Kedua tangannya tergelantung lunglai di sisi tubuh. Wajahnya mendongak ke arah langit. Matanya terkatup rapat. Mulutnya terbuka lebar. Air matanya berhamburan seperti air bah. Air liur dan ingusnya balapan meluncur ke dagu. Benar-benar jelek.



Sang kura-kura tak kalah kaget. Dia terlonjak sampai kepalanya kepentok batok punggungnya sendiri. gusti Allaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!! Amit-amit jabang bayi Gustiiiiiiiiiiiiiiiii!!! Kamu benar-benar berteriak!! Ngapain kamu teriak? Ini bukan terminal tahu!! dan kamu tidak sedang ketinggalan bis! Ksatria kok mulutnya nggak ningrat! Sudah diam!! Aku bilang diaaaam! Jijai deh kamu!!!



Suara si kura-kura berlomba dengan raungan tangis sang Rama. Sore yang tenang di tepi jalan itu mendadak jadi ribut. Burung-burung yang bertengger di dahan pohon mahoni melongok ke bawah dengan rasa ingin tahu. Lalu seekor tupai meloncat dan membuat pengumuman ngawur. Alaaah biasaaaa.. pertengkaran rumah tangga! Sudahlah! Kalian jangan ikut campur! Nanti dikira ikut andil dalam perselingkuhan itu. Ujar sang tupai sambil membuat loncatan besar ke dahan lain, menjauh dari pusat keributan. Rupanya binatang yang berekor merah jingga indah ini sejak awal nguping pembicaraan dua mahluk beda habitat di bawah pohon mahoni.



Woi! Woi! Jangan pergi dulu tolol! Seru seekor burung kenari mencegah tupai itu pergi. Emang siapa yang selingkuh? Lu kalo ngasih info jangan setengah-setengah doong! Selain gak nendang, kan juga bisa menyebabkan miskomunikasi! Siapa yang terlibat cinta segi tiga? Burung yang lincah itu terbang mengejar sang tupai. Emang kura-kura bisa kawin ama manusia? Emang manusia udah gak laku lagi antar sesama manusia? Berarti boleh doong gua kawin ama lu?! Hihihi..



Kecentilan!  Sahut si tupai sebal. Tau’ahh!! Dia terus meloncat semakin menjauh, menghilang dari kejaran si burung kenari. Kadang memang susah bicara dengan mahluk yang mikirnya Cuma pengen kawin.



keributan selesai. Sunyi kembali menguasai alam di tepi jalan itu. Si kura-kura duduk diam menunggu sang Rama yang sedang pergi membasuh mukanya di sungai kecil, tak jauh dari jalan itu. Jantungnya masih berdebar terkaget-kaget dengan tangis sang Raja. Dia benar-benar terluka. Pikir si Kura-kura  sambil berusaha menenangkan diri. Otaknya sibuk menata kembali alur cerita sang Rama. Istrinya di culik raksasa saat berburu, dan kini dia mencarinya sendirian, penuh dengan kemarahan... Oooooolaaaahhh.. gitu tho.

***



Sudah sore. Ucapan singkat ini keluar dari mulut sang Rama yang sudah kembali pada jati dirinya. Aku harus melanjutkan perjalanan. Akankah kau pergi sendiri? Aku bisa pergi dengan mu dan setidaknya kau bisa punya kawan seperjalanan untuk ngobrol. Usul si Kura-kura dengan suara penuh keraguan.



Tanpa disangka sang rama menyetujui dan tanpa ba bi bu langsung mengangkat tubuh si Kura-kura dan mendekapnya dengan tangan kanan dipinggang. Seperti menggendong bungkusan, lalu meneruskan langkah dalam diam. Aaiiih..! ada rasa berdebar di dada mahluk berbatok ini saat merasakan rengkuhan tangan yang halus namun kekar. Ada rasa aman, ada rasa dimiliki, ada rasa dekat.



Aroma tubuh laki-laki yang menyandang status raja ini tiba-tiba mempengaruhi hatinya. Kura-kura kaget dan pikirannya langsung melayang nakal. Andai aku istrinya.. pastilah indah dipeluk begini.. hiks hiks hiks!



Pantesan manusia suka berlebih-lebihan kalau menyikapi yang namanya cinta. Pasti karena sensasi-sensasi kecil seperti ini. Seperti vitamin yang kalau diminum bikin badan jadi seger.. jadi kalau gak minum satu butir saja, badan jadi pegel-pegel, dan rasanya ada yang kurang. Akhirnya vitamin yang disebut cinta ini bukan lagi sekedar doping, tapi berubah menjadi kebutuhan laten, seperti udara. Manusia mendadak jadi lupa, kalau vitamin hanyalah doping. Bukan unsur utama yang membuat orang hidup wajar seperti halnya udara. Mungkin..



kura-kura sibuk menerawang. Rama berjalan dalam diam. Sampai beliau memutuskan berhenti di sebuah gubuk kecil di tepi sungai yang lebar. Sekarang benar-benar sudah gelap. Kita akan bermalam disini. Sang Rama mengucapkannya seolah sedang memberi perintah kepada serombongan bala tentaranya. Saatnya lepas dari pelukan.



SELAMAT DATANG DI DUNIA GENGSI

Ini sub judul berikutnya. Tp aku lg males nerusin... hehehehee.... tunggu aja klo masih mau ngelanjutin baca kisah dari imajinasi pengawuran! qiqiqiqiqi





RINGANKAN PEKERJAAN TUHAN

(DENGAN BERHENTI JADI ORANG MUNAFIK)

0 comments:

Post a Comment